http://www.thehardisfamily.my.id/

Review Film Ice Cold : Murder, Coffee, and Jessica Wongso


Film dokumenter yang menarik perhatian saya, di beberapa tahun lalu, dalam film ini menceritakan Kasus pembunuhan dengan kopi sianida yang terjadi di Olivier, Grand Indonesia, dengan korban Wayan Mirna Salihin  pada tahun 2016 silam, dan film ini diberi judul  Ice Cold : Murder, Coffee, and Jessica Wongso.

Mirna  meninggal karena adanya sianida dalam kopinya, yang saat itu sedang bertemu teman lamanya  Jessica Wongso, dan pada akhir persidangan  ia menjadi terdakwa pembunuhan ini dan divonis selama 20 tahun penjara. 

Pada film dokumenter ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat. Namun, benarkah hal itu terjadi? Apakah dokumenter ini bakal membuka tabir, menampilkan hal-hal yang masyarakat enggak ketahui, atau sekadar rekapitulasi dari apa yang memang sudah dilihat oleh penonton di media? Mari simak review-nya di sini.


Dokumentasi yang Cukup Lengkap

Fungsi dasar dari film dokumenter adalah dokumentasi dan apa yang akan kamu lihat di dalamnya memang merupakan dokumentasi dari berbagai tayangan terkait dugaan pembunuhan Wayan Mirna Salihin. Dokumentasi-dokumentasi ini dikumpulkan dari berbagai sumber, mulai dari tayangan berita, talkshow politik, hingga talkshow hiburan. Pada masanya, pembunuhan Mirna memang sangat viral dan diperbincangkan berbulan-bulan layaknya kasus pembunuhan yang dilakukan oleh Ferdy Sambo.


Untuk urusan rekapitulasi, dokumenter ini cukup baik dalam melakukannya. Ia mengumpulkan sumber dari banyak media, mengurutkannya dengan baik, sehingga mereka yang dulu nggak terlalu mengikuti atau malah sudah lupa dengan uraian kasus ini, bisa kembali mengingat setiap rinciannya. Kapan Mirna menemui ajalnya, siapa yang ditinggalkan, hingga background Jessica Wongso sendiri lengkap disampaikan di sana.


Saat  menonton dokumenter Netflix ini, kamu nggak perlu mengubek-ubek berita atau menonton tayangan lama buat memahami kejadiannya. Ditambah lagi, dokumenter tersebut juga menayangkan wawancara baru dari Edi Darmawan Salihin(ayah Mirna), Otto Hasibuan (pengacara Jessica Wongso), Erasmus Napitupulu (Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)), Budi Budiawan (toxicologist), hingga presenter yang meliput peradilan itu.


Dokumenter ini mencoba buat menjadi agak netral dengan menyajikan pendapat berimbang tentang apa yang terjadi. Kita pun dibuat agak bimbang mengenai apakah benar Jessica Wongso adalah pembunuh Mirna? Ataukah peradilan sengaja membuat “jalan pintas” supaya ada terdakwa? Atau ada konspirasi di balik itu semua? Dari dokumenter ini, sebetulnya kita bisa mengambil kesimpulan tentang apa yang mau disampaikan.


Ya, kecenderungan dokumenter ini ada dua. Yang pertama, mempertanyakan bukti-bukti yang dianggap lemah atas tuduhan pembunuhan terhadap Jessica Wongso. Yang kedua, mengkritik sistem kepolisian dan peradilan Indonesia. Seperti yang kita tahu, banyak sekali berita tentang bagaimana peradilan dan kepolisian Indonesia kadang enggak berimbang, mengambil jalan pintas, bahkan menuduh orang yang salah karena “enggak mau repot” dan karena adanya relasi kuasa berupa uang dan jabatan. Jika dokumenter itu berniat demikian, maka dokumenter ini sukses untuk menyajikannya.


Namun, memang dokumenter ini terasa jadi nggak berimbang karena dalam berbagai wawancara, dukungan terhadap Jessica Wongso terasa lebih berat. Hal itu bisa saja terjadi karena memang bukti-bukti yang dulu ditampilkan lemah, tetapi bisa saja terjadi karena penonton mau digiring ke arah sana. Meski begitu, sisi positifnya, kita menjadi lebih paham mengenai bagaimana seharusnya penyelidikan pembunuhan berjalan. Penyelidikan pembunuhan seharusnya memang enggak instan dan harus melibatkan banyak ahli, bukannya hanya didasarkan pada subjektivitas media atau menjual kesedihan semata.


Kesan Terburu-Buru dan Kurang Bercerita

Sebagai dokumentasi, memang penulis merasa kalau film dokumenter ini cukup lengkap dan niat. Namun, rasanya jadi ada kesan terburu-buru. Film ini seperti hanya mengandalkan berbagai footages lama dan wawancara buat membangun cerita yang dikemas dengan alur agak membosankan. Ini sedikit berbeda dengan dokumenter lain seperti The Jeffrey Dahmer Tapes di Netflix yang benar-benar dikemas dengan lengkap, di mana footages lama, bahkan kisah masa kecil hingga berbagai hal yang memperkuat kasus Dahmer dikemas hingga seperti story. Jadi, saat melihatnya, kita enggak kayak melihat kumpulan fakta, tetapi melihat cerita. Itulah yang hilang dari dokumenter ini. 


Dokumenter ini terasa hanya tell, tetapi tidak terlalu show. Kita tahu bahwa ada yang salah dalam sistem peradilan Indonesia, tetapi dokumenter ini terlalu instan menyajikannya dengan membuat narasi, baik dari narasumber (ayah Jessica Wongso) atau dari wawancara dengan Erasmus Napitupulu, misalnya. Dokumenter ini kurang mengeksplorasi “rasa”, baik mereka yang tertuduh, mereka yang curiga, mau pun mereka yang kehilangan. Jadi, kesannya kita seperti melihat berita demi berita, bukan sebuah film dokumenter yang bernas.


Terkait hal ini, film memang memiliki pembelaan. Jessica Wongso sendiri kabarnya dilarang melakukan wawancara setelah interview dengan Netflix, karena sudah terlalu “dalam”. Jika apa yang disampaikan oleh film itu nyata, penonton memang sedikit kekurangan bahan dari orang yang “penting”, yakni terdakwa kasus, karena adanya pengaruh dari pihak berwenang. Namun tetap saja, jika wawancara yang lengkap dari Jessica Wongso ditampilkan, tetap enggak mengubah kenyataan adanya jalinan cerita yang nuansanya kurang, jika dilihat dari segi tontonan dan bukan rangkaian fakta semata.


Akhir Film yang Sedikit Membingungkan 

Bagian akhir dari dokumenter ini menampilkan masyarakat kecil, mereka yang rentan mendapatkan ketidakadilan dan dibandingkan dengan Jessica Wongso yang masih memiliki power. Intinya, jika orang seperti Jessica Wongso saja bisa terkena dampak dari penyelidikan yang bias dan enggak lengkap, bagaimana dengan orang lain yang sama sekali nggak punya power? 


Pesan akhir ini, ditambah dengan wawancara ayah Jessica yang sedang sakit, merupakan message kuat yang membuat kita kembali kesal terhadap sistem kepolisian dan hukum di Indonesia yang memang kerap kurang kompeten, dipenuhi intrik dan KKN, serta cenderung tumpul ke atas, tajam ke bawah. Namun, justru hal ini menjadi boomerang bagi film, karena, apa yang mau disampaikan menjadi kurang jelas. Film ini seperti kebingungan antara ingin membedah kasus lebih dalam, menyajikan fakta yang nggak pernah dilihat masyarakat, memahami dari sisi keluarga Mirna dan Jessica, atau mau mengkritik sistem di Indonesia? Semua seolah bertumpuk menjadi satu dan membuat penonton bingung mengenai apa konklusinya.


***


Sekilas mengenai review film Ice  Cold : Murder, Coffee, and Jessica Wongso. Bagaimana mana pendapat mu tentang film ini? Silahkan isi komentar yah? 




2 komentar

  1. Jadi penasaran sama film nya.. Dulu selalu ngikuti sidangnya tiap hari.. suka gemes sendiri lihat sidang kasus mirna sama jesika ini..

    BalasHapus
  2. Ia seru lumayan filmnya tapi alurnya terlalu cepat dan endingnya ngambang

    BalasHapus